Pernyataan Ketua DPD ini merujuk pada kebijakan Jokowi yang berada di hulu masalah. Indikator utamanya adalah pengurasan sumber daya alam daerah dan kemiskinan akut di daerah. Sinyalemen La Nyalla ini sebetulnya juga kesimpulan yang dirumuskan oleh para ekonom senior. Artinya, Jokowi bukan presiden yang prorakyat. Dia adalah presiden untuk para konglomerat hitam yang tergabung dalam oligarki bisnis.
La Nyalla semakin tajam. Dalam banyak kesempatan dia menunjukkan sikap yang berseberangan dengan Jokowi. Dia pun bersumpah akan menghadang upaya Jokowi untuk berkuasa tiga periode. Maupun mendapatkan perpanjangan masa jabatan 2-3 tahun lewat penundaan pemilu/pilpres 2024.
Sepanjang 2022, La Nyalla menjadi salah satu bintang oposisi. Di bulan Maret, La Nyalla mengajak para ulama untuk menolak perpanjangan masa jabatan Jokowi. Dia juga mencela Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) yang bermaksud mendeklarasikan Jokowi tiga periode.
Bulan berikutnya (April) dia mengkritik tindakan Jokowi melarang ekspor CPO (minyak sawit) di tengah krisis minyak goreng. Seminggu sebelumnya, La Nyala memperingatkan agar Luhut Panjaitan menghentikan polemik penundaan pemilu 2024. Seiring dengan itu, ketua DPD meremehkan Big Data yang sempat dimunculkan oleh Menko Marinves tersebut.
Kritik La Nyalla keluar bertubi-tubi. Dia dinilai berani menghadapi Luhut yang kekuasaannya sangat besar. Seterunya pada bulan Mei 2022, La Nyalla membuka pintu bagi pihak-pihak yang ingin memakzulkan (meng-impeach) Presiden Jokowi. “Saya tak bisa menghalanginya,” kata La Nyalla.