Ketika Dunia Melihat Kita. Oleh: Lulu Nugroho, Muslimah Penulis dari Cirebon.
Media negara tetangga, Australia mengritik penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. Bahkan disebut bahwa Indonesia akan menjadi hotspot Covid-19 dunia, atau sebagai pusat wabah pandemi. Berbeda dengan hotspot jaringan internet, akan membuat pengguna senang. Tapi tentu hal tersebut tidak berlaku bagi wabah penyakit.
Karenanya, kritikan tadi semakin membuat wajah Indonesia tampak buruk di mata dunia. Ini bukanlah prestasi, dan bukan kali pertama. Setelah sebelumnya survei dan penelitian yang dilakukan Deep Knowledge Group, menempatkan Indonesia di urutan buncit, yaitu 97 dari 100 negara yang dianggap menjadi tempat teraman dari Covid-19. (Republika.co.id, 9/6/2020)
Dengan kata lain, negeri yang kita cintai ini adalah tempat yang tidak aman di tengah wabah pandemi Covid-19. Terlebih lagi, kita berada di sana, di tanah air yang di mata dunia tampak jauh dari mengenaskan. Sedangkan potensi yang dimiliki bangsa ini, sesungguhnya sangat luar biasa. Hanya saja tidak digali dan dikembangkan dengan amanah. Maka tak heran muncul suara miring dari media Australia.
“The world’s next coronavirus hotspot is emerging next door,” bunyi judul Sydney Morning Herald (SMH) dalam laporannya yang diterbitkan 19 Juni 2020. SMH menduga banyak masyarakat Indonesia yang terinfeksi namun tidak terdeteksi. Ketika berita itu diturunkan, Indonesia melaporkan 45.891 kasus Covid-19 dengan 2.465 orang meninggal dan sebanyak 18.404 pasien berhasil disembuhkan. (Sindonews.com, 22/6/2020)
Melihat dari mata negara tetangga sebelah, sepertinya akan sulit memperbaiki kondisi, apalagi untuk ke luar dari pandemi. Bahkan tren new normal pun dianggap sebagai penyebab meningkatnya infeksi Covid-19. Solusi setengah hati menangani wabah penyakit, telah menuai kontra dari para tenaga kesehatan (nakes) dan ahli epidemiolog.
Penguasa diliputi galau tingkat tinggi, sebab roda perekonomian nyaris terhenti akibat penerapan pembatasan sosial berskala besar. Maka tidak bisa tidak, kebijakan relaksasi ditempuh agar masyarakat bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebab tidak cukup hanya bantuan sosial (Bansos), kebutuhan rakyat jauh lebih besar dari itu.
Pemerintah tidak sanggup memenuhi kebutuhan pangan seluruh rakyat. Hingga pada akhirnya, penerapan new normal malahan menjadi ajang taruhan nyawa. Sebab jika tidak ke luar rumah dan mencari nafkah, maka tidak ada yang menanggung kebutuhan perut keluarga. Lengkap sudah penderitaan rakyat, tanpa karantina, tanpa vaksin, bahkan tanpa kebijakan yang pro rakyat.
Mereka menyaksikan hal ini, memandang betapa gagapnya pemerintah mengatasi pandemi. Dunia memperhatikan kita. Negara-negara yang bertetangga dengan kita pun takut terpapar virus. Sama halnya seperti masyarakat Indonesia tak mau tertular. Sekalipun diminta berdamai dengan virus, dengan berbagai wacana. Sampai-sampai mengasumsikan Covid-19 sebagai isteri.
Negeri Mercusuar Dunia
Islam telah jauh-jauh hari menunjukkan solusi kehidupan di tengah wabah penyakit, yaitu dengan menutup area hingga terpisah manusia satu dengan yang lain. Metode karantina telah dilakukan Rasulullah ratusan tahun yang silam. Beliau bahkan membuat tembok di sekeliling tempat terjadinya wabah, mencegah terjadinya interaksi.
Rasulullah bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu (HR al-Bukhari).
Menurut Imam al-Waqidi, di masa pemerintahan Umar bin Khaththab, pernah terjadi wabah Tha’un yang melanda seluruh negeri Syam. Korban jiwa kala itu 25.000 jiwa lebih, di antara mereka adalah Al-Harits bin Hisyam, Syarahbil bin Hasanah, Fadhl bin Abbas, Yazid bin Abi Sufyan dan Abu Jandal bin Suhail.
Dua Gubernur Syam juga meninggal berturut-turut. Pertama Abu Ubaidah bin Jarrah, yang tetap berada di wilayah wabah, hingga akhirnya ia wafat. Kemudian gubernur pengganti yaitu Muaz bin Jabal juga meninggal terkena wabah tadi.
Amr bin Ash kala itu mengatakan bahwa solusi menghentikan wabah adalah dengan meminta penduduk yang sehat pergi ke arah bukit-bukit. Sementara yang lain memisahkan diri, di dataran rendah. Inilah isolasi atau karantina ala Rasulullah. Tidak boleh ada orang yang masuk atau ke luar, hingga wabah reda.
Tidak hanya melakukan isolasi, Umar bin Khaththab pun mengobati yang sakit dan menyediakan makanan yang banyak bagi warga. Kepemimpinan kala itu, bertanggung jawab dan amanah, memiliki peran sentral bagi seluruh permasalahan umat. Ia juga mampu mengakomodir hak-hak umat, baik itu hak untuk memperoleh pangan, sandang dan papan, serta kemudahan memperoleh layanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas.
Di masa berikutnya setelah Khulafaur Rasyidin, kejayaan Islam terus berlanjut. Kesehatan masyarakat terjaga. Di saat yang sama, Eropa mengalami masa kegelapan dengan banyaknya penyakit dan bahaya mengintai karena lemahnya pengelolaan kehidupan bernegara.
Karenanya para pelancong barat justru dikabarkan senang menginap di rumah sakit milik Daulah. Mereka akan berpura-pura sakit agar mendapat pelayanan berkualitas dan bebas biaya. Sebab di masa itu, layanan kesehatan bisa diperoleh secara cuma-cuma.
Selain fasilitas kesehatan yang baik, para pemimpin pun lebur ke tengah masyarakat. Suara mereka didengar. Kebijakan tidak dipaksakan satu arah, tetapi berdasar aturan Allah yang tentu mengeliminasi semua perbedaan.
Negeri Islam menjadi model pemerintahan terbaik yang pernah ada sepanjang masa. Mengalami masa keemasan, tatkala Islam dijadikan sebagai landasan bernegara. Rahmat dan keberkahan yang banyak, dirasakan bagi semesta alam. Menjadi mercusuar dunia, menerangi di kegelapan pemikiran yang dikuasai kekufuran.
Dunia pun memandang Negeri Islam laksana mentari. Cahayanya memancar terang benderang, karena kesempurnaannya mengurusi umat. Menjadikannya berjaya hingga 13 abad lamanya di wilayah yang luas, yakni dua pertiga dunia. Inilah sebaik-baik negeri yang pernah ada di muka bumi. Allahummanshurnaa bil Islam.